-->

Minggu, 12 Januari 2014

Posted by Unknown On 5:14:00 PM


أَلضَّرَرُ يُزَال
AD-ḌARARU YUZĀLU


KARYA TULIS
Disusun dan Diajukan Guna Memenuhi Tugas
Perlombaan Karya Tulis
Dalam Rangka Memeriahkan Maulid Nabi Muhammad SAW

 

Oleh :
HISANDA


MADRASAH DINIYYAH BANIN
PONDOK PESANTREN AN-NAWAWI BERJAN
PURWOREJO
2014
أَلضَّرَرُ يُزَالُ
AD-ḌARARU YUZĀLU

A.      Latar Belakang Masalah
Dilihat dari fungsinya kaidah uṣuliyah dan kaidah fiqhiyah digunakan sebagai sarana uṣul dalam menggali hukum syar’i, maka kedua uṣul ini sangat penting untuk dipelajari.[1] Dengan mempelajari dan menguasai kaidah-kaidah fiqh kita akan mengetahui benang merah yang menguasai fiqh, karena kaidah fiqh itu menjadi titik temu dari masalah-masalah fiqh, dan lebih arif  di dalam menerapkan fiqh dalam waktu dan tempat yang berbeda untuk kasus, adat kebiasaan, keadaan yang berlainan serta lebih mudah mencari solusi terhadap problem-problem yang terus muncul dan berkembang dalam masyarakat.
Dalam kehidupan bermasyarakat, tentunya banyak terdapat masalah-masalah yang memerlukan suatu penyelesaian, maka dari itu para ulama membuat suatu kaidah-kaidah demi menyelesaikan masalah tersebut. Dimana salah satu kaidahnya adalah kaidah  أَلضَّرَرُيُزَالُ.
           
B.       Pembahasan
1.         Pengertian “al-ḍararu yuzālu
Kaidah أَلضَّرَرُيُزَالُ  yaitu kaidah yang membahas tentang kemuḍaratan itu memang harus dihilangkan, terlebih dalam kondisi darurat, maka yang diharamkan pun boleh dilakukan. Yang mana maksud dari keadaan darurat itu bisa berakibat fatal bila mana tidak diatasi dengan cara-cara seperti itu. Oleh karena itu hukum Islam membolehkan untuk meninggalkan ketentuan-ketentuan wajib bila mana sudah dalam keadaan yang sangat darurat.
Maksudnya ialah jika sesuatu itu dianggap sedang atau akan bahkan memang menimbulkan kemuḍaratan, maka keberadaanya wajib dihilangkan. Yang dimaksud “darurat” ialah suatu keadaan yang bisa berakibat fatal jika tidak diatasi dengan cara yang luar biasa dan bahkan terkadang dengan cara melanggar hukum.
Arti dari kaidah “al-ḍararu yuzālu” adalah kemuḍaratan atau kesulitan harus dihilangkan. Jadi konsepsi kaidah ini memberikan pengertian bahwa manusia harus dijauhkan dari idhrar (tindak menyakiti), baik oleh dirinya maupun orang lain, dan tidak semestinya ia menimbulkan bahaya (menyakiti) pada orang lain.[2]
Namun ḍarar secara etimologi adalah berasal dari kalimat “al-ḍarar” yang berarti sesuatu yang turun tanpa ada yang dapat menahannya. Sedangkan ḍarar secara terminologi menurut para ulama ada beberapa pengertian diantaranya adalah:
a.       Ḍarar ialah posisi seseorang pada suatu batas dimana jika tidak mau melanggar sesuatu yang dilarang maka bisa mati atau nyaris mati. Maka hal seperti ini memperbolehkan ia melanggarkan sesuatu yang diharamkan dengan batas-batas tertentu.
b.      Abu Bakar Al-Jashas, mengatakan  “Makna ḍarar disini adalah ketakutan seseorang pada bahaya yang mengancam nyawanya atau sebagian anggota badannya karena ia tidak  makan”.
c.       Menurut Ad-Dardiri, “ḍarar ialah menjaga diri dari kematian atau dari kesusahan yang teramat sangat”.
d.      Menurut sebagian ulama dari Madzhab Maliki, “ḍarar ialah mengkhawatirkan diri dari kematian berdasarkan keyakinan atau hanya sekedar dugaan”.
e.       Menurut Asy-Suyuthi, “ḍarar adalah posisi seseorang pada sebuah batas dimana jika ia tidak mengkonsumsi sesuatu yang dilarang maka ia akan binasa atau nyaris binasa.[3]
Jadi, ḍarar di sini  menjaga jiwa dari kehancuran atau posisi yang sangat muḍarat sekali, maka dalam keadaan seperti ini kemuḍaratan itu membolehkan sesuatu yang dilarang.
Berdasarkan pendapat para ulama di atas dapat diambil kesimpulan bahwa ḍarar adalah kesulitan yang sangat menentukan eksistensi manusia, karena jika ia tidak diselesaikan maka akan mengancam agama, jiwa, nasab, harta serta kehormatan manusia.[4]

2.         Sumber Kaidah
Berikut ini merupakan nash yang berkaitan dengan kaidah أَلضَّرَرُيُزَالُ

a.         Firman Allah Swt. Q.S. al-Baqarah (2) : 173
Ç`yJsù §äÜôÊ$# uŽöxî 8ø$t/ Ÿwur 7Š$tã Ixsù zNøOÎ) Ïmøn=tã [5]
Artinya: “Barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya”.

b.        Firman Allah Q.S. al-Qoshosh (28): 77
¨bÎ) ©!$# Ÿw =Ïtä tûïÏÅ¡øÿßJø9$# [6]
Artinya: “Sesungguhnya Allah tidak suka kepada orang-orang yang membuat kerusakan.”


c.         Firman Allah Q.S. al-Baqarah (2): 231
Ÿwur £`èdqä3Å¡÷IäC #Y#uŽÅÑ (#rßtF÷ètGÏj9 [7]
Artinya: “Janganlah kamu merujuk mereka untuk memberi kemuḍaratan karena dengan demikian kamu menganiaya mereka”.

d.        Firman Allah Q.S. ath-Thalaq (65): 6
Ÿwur £`èdr!$ŸÒè? (#qà)ÍhŠŸÒçGÏ9 £`ÍköŽn=tã 4 [8]
Artinya: “Dan janganlah kamu memuḍaratkan mereka (istri) untuk menyempitkan hati mereka”.

e.         Sabda Rasulullah SAW.
لاَضَرَر وَلاَ ضِرَارَ
Artinya: “Tidak boleh membuat kerusakan pada diri sendiri serta membuat kerusakan pada orang lain.” (HR. Ahamad dan Ibnu Majah dari Ibnu Abbas).[9]

3.         Kaidah-kaidah Furu’
a.       Kaidah pertama
اَلضَّرُورَات تُبِيْعُ الْمَحْظُوْرَاتِ
Artinya: “Kemaḍaratan itu membolehkan yang dilarang”

Dasar nash kaidah di atas adalah Firman Allah.
ôs%ur Ÿ@¢Ásù Nä3s9 $¨B tP§ym öNä3øn=tæ žwÎ) $tB óOè?ö̍äÜôÊ$# Ïmøs9Î) 3 [10]
Artinya:  “Padahal sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya.”

Ç`yJsù §äÜôÊ$# uŽöxî 8ø$t/ Ÿwur 7Š$tã Ixsù zNøOÎ) Ïmøn=tã 4 ¨bÎ) ©!$# Öqàÿxî íOŠÏm§ [11]
Artinya: “Maka barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

Tidak semua keterpaksaan itu membolehkan yang haram, namun keterpaksaan itu dibatasi dengan keterpaksaan yang benar-benar tiada jalan lain kecuali hanya melakukan itu, dalam kondisi ini maka semua yang haram dapat diperbolehkan memakainya. Misalkan seorang di hutan tiada makanan sama sekali jika ia tidak makan maka dapat mengancam dirinya atau ia bisa mati, namun yang ada di sana hanya babi hutan maka babi hutan itu boleh dimakan sebatas keperluannya.[12]
Dikalangan ulama ushul, yang dimaksud dengan keadaan darurat yang membolehkan seseorang melakaukan hal-hal yang dilarang adalah keadaan yang memenuhi syarat sebagai berikut:
1)      Kondisi darurat itu mengancam jiwa dan anggota badan.
2)      Keadaan darurat hanya dilakukan sekedarnya dalam arti tidak melampaui batas.
3)      Tidak ada jalan lain yang halal kecuali dengan melakukan yang dilarang.
Dengan adanya dasar al-Qur’an tersebut, maka dalam keadaan terpaksa, seseorang diperbolehkan melakukan suatu perbuatan yang dalam kebiasaannya melakukannya, kemungkinan besar sekali menimbulkan kemuḍaratan pada dirinya. Oleh sebab itu, maka kaidah fiqih tersebut merupakan pengecualian syariah yang bersifat umum (General Law), artinya orang haram hukum melakukan hal-hal yang telah diharamkan atau dilarang oleh agama.[13]
Contohnya: Diibaratkan disuatu desa ada seorang ibu-ibu yang akan melahirkan namun, sudah dalam keadaan kondisi yang sangat kritis sedangkan di desa tersebut tidak ada seorang bidan dan hanya seorang dokter laki-laki. Maka hal seperti itu yang dibolehkan bagi dokter laki-laki tersebut melihat kemaluan dari pada pasien tersebut.

b.      Kaidah kedua
مَا اُبِحَ لِلضَّرُورَةِ يُقَدَّرُ بِقَدَرِهَا
Artinya: Apa yang diperbolehkan karena ḍarar maka diukur menurut kadar kemuḍaratannya”.[14]

Contoh kaidah di atas adalah: kebolehan memakan bangkai bagi seseorang hanya sekedar dalam ukuran untuk mempertahankan hidup, tidak boleh melebihi.
c.       Kaidah ketiga
الاضطرار لا يبطل حق الغير
Artinya: Keterpaksaan itu tidak dapat membatalkan hak orang lain”.[15]

Misalnya seseorang dalam keadaan lapar, dan dia akan mati jika ia tidak makan, dan jalan satu-satunya mendapat makanan adalah mencuri, maka ia tidak boleh melakukannya, karena pengguguran terhadap keterpaksaan ini mengganggu hak orang lain, maka jalan keluar orang tersebut adalah boleh makan makanan yang haram seperti babi, bangkai dan sebagainya.

d.      Kaidah keempat
الضرار لايزال بالضرر
Artinya: Kemaḍaratan itu tidak bisa dihilangkan dengan kemaḍratan yang lain”.[16]

Dari kaidah ini dapat diambil sebuah contoh dua orang yang terapung-apung di atas lautan akibat kapal yang ditumpanginya pecah. Salah satu dari mereka mendapatkan sekeping papan untuk mengapung di atas air sekedar bertahan sampai ada tim penolong datang. Tetapi juga kawannya ingin sekali menyelamatkan jiwanya dari bahaya maut merebut papan tersebut dan karena papan itu tidak dapat menampung dua orang ia harus mengorbankan kawannya yang sudah berada di atas papan. Maka tindakan orang yang merebut karana darurat terhadap sesuatu yang dianggap darurat pula oleh kawan yang direbutnya tidak dibenarkan oleh syari’at.
Kaidah ini semakna dengan kaidah:
الْضَرَرُ لاَيُزَالُ بِمِثْلِهِ
Artinya: Kemuḍaratan tidak boleh dihilangkan dengan kemuḍaratan yang sebanding”.

Maksudnya adalah kemuḍaratan tidak boleh dihilangkan dengan cara melakukan kemuḍaratan lain yang sebanding keadaannya. Misalnya, seseorang debitor tidak mau membayar utangnya padahal waktu pembayaran sudah habis. Maka dalam hal ini tidak boleh kreditor mencuri barang debitor sebagai pelunasan terhadap hutangnya.
Contoh lain seorang dokter tidak boleh melakukan donor darah dari satu orang ke orang lain jika hal itu menyebabkan si pendonor menderita sakit lebih parah dari yang menerima donor.
Kebolehan berbuat atau meninggalkan sesuatu karena ḍarar adalah untuk memenuhi penolakan terhadap bahaya, bukan selain ini. Dalam kaitan ini Dr. Wahbah az-Zuhaili membagi kepentingan manusia akan sesuatu dengan lima klasifikasi, yaitu:
1)        Ḍarar, yaitu kepentingan manusia yang diperbolehkan menggunakan sesuatu yang dilarang, karena kepentingan itu menempati puncak kepentingan manusia, bila tidak dilaksanakan maka mendatangkan kerusakan. Kondisi semacam ini memperbolehkan segala yang diharamkan atau dilarang, seperti memakai pakaian sutra bagi laki-laki yang telanjang, dan sebagainya.
2)        Hajat, yaitu kepentingan manusia akan sesuatu yang bila tidak dipenuhi mendatangkan kesulitan atau mendekati kerusakan. Kondisi semacam ini tidak menghalalkan yang haram. Misalnya seorang laki-laki yang tidak mampu berpuasa maka diperbolehkan berbuka dengan makanan halal, bukan makanan haram.
3)        Manfaat, yaitu kepentingan manusia untuk menciptakan kehidupan yang layak. Maka hukum diterapkan menurut apa adanya karena sesungguhnya hukum itu mendatangkan manfaat. Misalnya makan makanan pokok seperti beras, ikan, sayur-mayur, lauk-pauk, dan sebagainya.
4)        Zeinah, yaitu kepentingan manusia yang terkait dengan nilai-nilai estetika.
5)        Fuḍul, yaitu kepentingan manusia hanya sekedar utuk berlebih-lebihan, yang memungkinkan mendatangkan kemaksiatan atau keharaman. Kondisi semacam ini dikenakan hukum saddu adz dzariah, yakni menutup segala kemungkinan yang mendatangkan mafsadah.[17]

e.       Kaidah kelima
ما جاز لعذر بطل بزواله
Artinya: Apa yang diizinkan karena adanya udzur, maka keizinan itu hilang manakala udzurnya hilang.”[18]

Misalnya kebolehan tayammum bagi seseorang yang sakit, maka ketika sudah sembuh kebolehan tayammum itu hilang atau tidak berlaku lagi.



f.       Kaidah keenam
الميسور لا يسقط بالمعسور
Artinya: “Kemudahan itu tidak dapat digugurkan dengan kesulitan”.[19]

Kaidah tersebut menurut Ibnu Subki diambil dari sabda Nabi Saw :
اذاامرتكم بامر فأتوا منه مااستطعتم
Artinya: Apabila aku perintahkan kalian dengan suatu perintah maka lakukanlah perintah itu semampu kalian”.

Misalnya seorang yang buntung tangan atau kakinya maka cara wudhunya cukup membasuh yang ada, jika tidak ada sama sekali maka cukup membasuh anggota yang paling ujung sendiri.

g.      Kaidah ketujuh
 در المفاسد اولى من جلب المصالح فاذاتعارض مفسدة ومصلحة قدم دفع المفسدة غالبا
Artinya: Menolak kerusakan lebih diutamakan dari pada mendapatkan kemaslahatan, dan apabila berlawanan antara mafsadah dan maslahah maka yang didahulukan adalah menolak mafsadahnya”.[20]

Kaidah tersebut diilhami oleh hadits Nabi Saw:

اذاامرتكم بامرفأ توا مااستطعتم واذا نهيتكم عن شئ فاجتنبوه
Artinya: “Apabila aku telah memerinahkanmu dengan suatu perintah maka kerjakanlah perintah itu semampumu, tetapi jika aku telah melarang padamu tentang sesuatu maka jauhilah”. (HR. Bukhari-Muslim dari Abu Hurairah).


Misalnya seseorang diprintahkan shalat dalam keadaan berdiri, namun ia tidak mampu melaksanakannya, maka shalat itu dapat dikerjakan dengan duduk atau berbaring. Menolak maḍarat didahulukan karena kerusakan akan berakibat pada hilangnya manfaat. Misalnya minum khomr itu disamping ada maḍaratnya merusak akal dan menghambur-hamburkan uang sedang manfaatnya untuk menguatkan badan, walaupun demikian maka yang dimenangkan adalah menolak kerusakannya.

h.      Kaidah kedelapan
إِذَاتعارَضَ مَفْسَدَتاَنِ رُوْعِيَ أَعْظَمُهُمَاضَرَرًاباِرْتِكاَبِ أَخَفِّهماَ
Artinya: “Apabila dua mafsadah bertentangan, maka perhatikan mana yang lebih besar madharatnya dengan memilih yang lebih ringan madharatnya”.[21]

Misalnya diperbolehkan mengadakan pembedahan perut wanita yang mati jika dimungkinkan bayi yang dikandungnya dapat diselamatkan. Demikian juga boleh shalat dengan bugil jika tidak ada alat penutup sama sekali.
Contoh lain seperti wajibnya si kaya untuk menafkahkan sebagian hartanya kepada si fakir, sebab pada hakikatnya kemadlaratan yang dijumpai oleh si kaya dengan menafkahkan sebagian hartanya, lebih ringan dari pada si fakir yang tidak mempunyai sama sekali.

i.        Kaidah kesembilan
الحاجة العا مة اوالخاصة تنزل منزلة الضرورة
Artinya: Kebutuhan umum atau khusus dapat menduduki tempat ḍarar”.[22]

Kaidah di atas menunjukkan bahwa keringanan itu tidak hanya berlaku bagi kemaḍaratan, baik kebutuhan umum maupun khusus, sehingga dapat dikatakan bahwa keringanan itu diperbolehkan karena kebutuhan sebagaimana kebolehan keringanan atas kemaḍaratan, karena hajat itu hampir sama kedudukannya dengan muḍarat.
Misalnya, pada dasarnya transaksi jual beli diharuskan terpenuhi semua rukun dan syaratnya, namun untuk mempermudah transaksi tersebut maka diperbolehkan akad salam (pesanan) walaupun pada dasarnya hal itu tidak mengikuti hukum asal.

j.        Kaidah kesepuluh
Artinya: “Apabila saling bertentangan ketentuan hukum yang mencegah dengan yang dikehendaki pelaksanaan sesuatu perbuatan, niscaya didahulukan yang mencegahnya”.

Sebagai contoh dalam suatu sengketa yang terjadi karena seorang menjual suatu benda yang disewakan tanpa seizing penyewa yang oleh karenanya jual beli ini hanya berlaku pada pihak penjual dan pembeli saja, tidak dapat berlaku pada pihak penyewa, artinya pembeli tidak boleh minta begitu saja agar penyewa menyerahkan benda tersebut, sebelum habis masa sewanya.

k.      Kaidah kesebelas
Kemudlaratan itu harus dihindarkan sedapat mungkin”.
Maksud dari kaidah ini ialah, kewajiban menghindarkan terjadinya suatu kemadlaratan, atau dengan kata lain, kewajiban melakukan usaha-usaha perventif agar jangan terjadi suatu kemadlaratan, dengan segala daya upaya yang mungkin dapat diusahakan. Maksud yang demikian ini sesuai dengan maksud dalil-dalil mashlahah mursalah, yang dikenal dikalangan ulama ushul dan banyak digunakan fiqh Siyasah.
Dari kaidah ini dapat diambil contoh tindakan-tindakan hukum diantaranya, yaitu tindakan Umar bin Khattab dengan membakar warung arak, agar jangan sampai terjadi kemadlaratan-kemadlaratan yang lebih besar.
Begitu juga dengan usaha Abu Bakar untuk mengadakan penulisan al-Qur’an agar jangan samapai ada yang hilang atau terlupakan. Demikian pula tidakan Usman bin Affan dalam usahanya mengumpulkan al-Qur’an dalam Mushaf.
Dalam pelayaran dengan kapal laut, di mana kapal demikian oleng dan besar kemungkinan akan tenggelam apabila semua barang yang ada di dalamnya tidak dibuang ke laut. Dalam keadaan semacam itu diperbolehkan membuang barang ke laut meskipun tidak seizin yang mempunyai demi kemaslahatan penumpang, yaitu menolak bahaya yang mengancam keselamatan jiwa mereka.

l.        Kaidah keduabelas
يُحْتَمَلُ الضَّرَرُالخَاصِ لِأَجَلِ الضَّرَرِالْعاَمِ
Artinya: Kemuḍaratan yang khusus boleh dilakukan demi menolak kemuḍaratan yang bersifat umum”.

Contohnya boleh melarang tindakan hukum seseorang yang membahayakan kepentingan umum. Misalnya, menjual barang-barang debitor yang sudah ditahan demi menyelamatkan para nasabah.

m.    Kaidah ketigabelas
الضَّرَرُلاَيَكُوْنُ قَدِيْمَاَ
Artinya: “Kemuḍaratan itu tidak dapat dibiarkan karena dianggap telah lama terjadi”.

Maksudnya adalah kemuḍaratan itu harus dihilangkan dan tidak boleh dibiarkan terus berlangsung dengan alasan kemuḍaratan tersebut telah ada sejak dahulu.
Contohnya boleh melarang dosen yang punya penyakit darah tinggi yang parah untuk mengajar, larangan ini tidak bisa dibantah dengan alasan penyakitnya sudah lama.















C.      Kesimpulan
Dari pembahasan makalah ini, dapat diambil kesimpulan bahwa kaidah ini adalah kaidah yang membahas tentang “kemuḍaratan harus dihilangkan”. Dimana maksud dari kaidah tersebut adalah, dalam keadaan yang bisa berakibat fatal, maka seseorang tersebut bisa mengatasinya dengan cara melanggar hukum, namun hanya dalam batasan-batasan tertentu.


DAFTAR PUSTAKA


As-Suyuthi. 1403 H. Al-Asybah wa al-Nazair. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah.

Az-Zuhaili, Wahbah. 1982. Fiqh al-Islamiy wa Adillatuh. Beirut, Lebanon: Dar al-Fikr.

Djuzuli. 2007. Kaidah-Kaidah Fikih, Jakarta: Kencana.

Hakim, Abdul Hamid. 1956. As-Sullam, juz II. Jakarta: Maktabah as-Sa’diyah Putra.

Kurdi, Muliadi, 2011. Ushul Fiqh Sebuah Pengenalan Awal, cet.1, Banda Aceh: Lembaga Kajian Agama dan Sosial (LKAS).

Nashr Farid Muhammad Washil, dkk. 2009. Qawa’id Fiqhiyyah. Jakarta: Amzah.

Pondok Pasantren Islam Nirul Iman, Ḍarurat dalam Perspektif Islam, http://ppnuruliman.com/artikel/fikih/228-dhorurat-dalam-perspektif-islam.html.

Usman, Muchlis. 2002. Kaidah-Kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyyah. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.

Zein, Muhammad Mas’ud. Sitematika Teori Hukum Islam (Qawa’id-Fiqhiyyah)


[1] Muliadi Kurdi, Ushul Fiqh Sebuah Pengenalan Awal, cet.1, (Lembaga Kajian Agama dan Sosial (LKAS), Banda Aceh: 2011), hal. 4.
[2] Nashr Farid Muhammad Washil, Qawa’id Fiqhiyyah, hlm. 17.

[3]Pondok Pasantren Islam Nirul Iman, Dhorurat dalam Perspektif Islam,  http://ppnuruliman.com/artikel/fikih/228-dhorurat-dalam-perspektif-islam.html.
[5]  Q.S. al-Baqarah (2): 173.

[6]  Q.S. al-Qashash (28): 77.
[7] Q.S. al-Baqarah (2): 231.

[8] Q.S. at-Thalaq (65): 6.

[9] Muchlis Usman, Kaidah-Kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyyah, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002), hal.132.
[10] Q.S. al-An’am: 119.

[11] Q.S. al-Baqarah: 173.

[12] Nur Alim, Ad-Dhararu Yuzalu, http://noeraliem.blogspot.com/2010/10/ad-dhararu-yuzalu-kemudharatan-itu.html, 26/10/2011, 10.05 Wib.
[13] Muhammad Mas’ud Zein, Sitematika Teori Hukum Islam (Qawa’id-Fiqhiyyah), hal. 65.

[14] As-Suyuthi, al-Asybah wa al-Nazair, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1403 H.), hal. 60.
[15] Wahbah az-Zuhaili, Fiqh al-Islamiy wa Adillatuh, (Beirut, Lebanon: Dar al-Fikr, 1982), hal. 259.

[16]  As-Suyuthi, al-Asybah wa al-Nazair............, hal. 61.
[17] Wahbah az-Zuhaili, Fiqh al-Islamiy wa Adillatuh........., hal. 246-247.

[18] Ibid, hal. 245.
[19]  Ibid, hal. 257.

[20] As-Suyuthi, al-Asybah wa al-Nazair............, hal. 62.
[21] Abdul Hamid Hakim, as-Sullam, juz II, (Jakarta: Maktabah as-Sa’diyah Putra, 1956), hlm. 82.
[22] Wahbah az-Zuhaili, Fiqh al-Islamiy wa Adillatuh........., hal. 261.