أَلضَّرَرُ يُزَال
AD-ḌARARU
YUZĀLU
KARYA TULIS
Disusun
dan Diajukan Guna Memenuhi Tugas
Perlombaan
Karya Tulis
Dalam
Rangka Memeriahkan Maulid Nabi Muhammad SAW
Oleh :
HISANDA
MADRASAH
DINIYYAH BANIN
PONDOK
PESANTREN AN-NAWAWI BERJAN
PURWOREJO
2014
أَلضَّرَرُ يُزَالُ
AD-ḌARARU
YUZĀLU
A.
Latar Belakang Masalah
Dilihat dari
fungsinya kaidah uṣuliyah dan kaidah fiqhiyah digunakan sebagai
sarana uṣul dalam menggali hukum syar’i, maka kedua uṣul ini
sangat penting untuk dipelajari.[1] Dengan
mempelajari dan menguasai kaidah-kaidah fiqh kita akan mengetahui benang merah
yang menguasai fiqh, karena kaidah fiqh itu menjadi titik temu dari
masalah-masalah fiqh, dan lebih arif di
dalam menerapkan fiqh dalam waktu dan tempat yang berbeda untuk kasus, adat
kebiasaan, keadaan yang berlainan serta lebih mudah mencari solusi terhadap
problem-problem yang terus muncul dan berkembang dalam masyarakat.
Dalam kehidupan
bermasyarakat, tentunya banyak terdapat masalah-masalah yang memerlukan suatu
penyelesaian, maka dari itu para ulama membuat suatu kaidah-kaidah demi
menyelesaikan masalah tersebut. Dimana salah satu kaidahnya adalah kaidah أَلضَّرَرُيُزَالُ.
B.
Pembahasan
1.
Pengertian “al-ḍararu yuzālu”
Kaidah
أَلضَّرَرُيُزَالُ yaitu kaidah
yang membahas tentang kemuḍaratan itu memang harus dihilangkan, terlebih
dalam kondisi darurat, maka yang diharamkan pun boleh dilakukan. Yang mana
maksud dari keadaan darurat itu bisa berakibat fatal bila mana tidak diatasi
dengan cara-cara seperti itu. Oleh karena itu hukum Islam membolehkan untuk
meninggalkan ketentuan-ketentuan wajib bila mana sudah dalam keadaan yang
sangat darurat.
Maksudnya
ialah jika sesuatu itu dianggap sedang atau akan bahkan memang menimbulkan kemuḍaratan,
maka keberadaanya wajib dihilangkan. Yang dimaksud “darurat” ialah suatu
keadaan yang bisa berakibat fatal jika tidak diatasi dengan cara yang luar
biasa dan bahkan terkadang dengan cara melanggar hukum.
Arti
dari kaidah “al-ḍararu yuzālu” adalah kemuḍaratan
atau kesulitan harus dihilangkan. Jadi konsepsi kaidah ini memberikan pengertian
bahwa manusia harus dijauhkan dari idhrar (tindak menyakiti), baik oleh
dirinya maupun orang lain, dan tidak semestinya ia menimbulkan bahaya
(menyakiti) pada orang lain.[2]
Namun
ḍarar secara etimologi adalah berasal dari kalimat “al-ḍarar”
yang berarti sesuatu yang turun tanpa ada yang dapat menahannya. Sedangkan ḍarar
secara terminologi menurut para ulama ada beberapa pengertian diantaranya
adalah:
a. Ḍarar
ialah posisi seseorang pada suatu batas dimana jika tidak mau melanggar sesuatu
yang dilarang maka bisa mati atau nyaris mati. Maka hal seperti ini
memperbolehkan ia melanggarkan sesuatu yang diharamkan dengan batas-batas
tertentu.
b. Abu
Bakar Al-Jashas, mengatakan “Makna ḍarar disini adalah
ketakutan seseorang pada bahaya yang mengancam nyawanya atau sebagian anggota
badannya karena ia tidak makan”.
c. Menurut
Ad-Dardiri, “ḍarar ialah menjaga diri dari kematian atau dari kesusahan
yang teramat sangat”.
d. Menurut
sebagian ulama dari Madzhab Maliki, “ḍarar ialah mengkhawatirkan diri
dari kematian berdasarkan keyakinan atau hanya sekedar dugaan”.
e. Menurut
Asy-Suyuthi, “ḍarar adalah posisi seseorang pada sebuah batas dimana
jika ia tidak mengkonsumsi sesuatu yang dilarang maka ia
akan binasa atau nyaris binasa.[3]
Jadi,
ḍarar di sini menjaga jiwa dari kehancuran atau posisi yang
sangat muḍarat sekali, maka dalam keadaan seperti ini kemuḍaratan
itu membolehkan sesuatu yang dilarang.
Berdasarkan
pendapat para ulama di atas dapat diambil kesimpulan bahwa ḍarar adalah
kesulitan yang sangat menentukan eksistensi manusia, karena jika ia tidak
diselesaikan maka akan mengancam agama, jiwa, nasab, harta serta kehormatan
manusia.[4]
2.
Sumber Kaidah
Berikut ini
merupakan nash yang berkaitan dengan kaidah أَلضَّرَرُيُزَالُ
a.
Firman Allah Swt. Q.S. al-Baqarah (2) : 173
Artinya: “Barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak
menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya”.
b.
Firman Allah Q.S. al-Qoshosh (28): 77
Artinya: “Sesungguhnya Allah
tidak suka kepada orang-orang yang membuat kerusakan.”
c.
Firman Allah Q.S. al-Baqarah (2): 231
Artinya: “Janganlah kamu
merujuk mereka untuk memberi kemuḍaratan karena dengan demikian kamu menganiaya
mereka”.
d.
Firman Allah Q.S. ath-Thalaq (65): 6
Artinya: “Dan janganlah kamu memuḍaratkan
mereka (istri) untuk menyempitkan hati mereka”.
e.
Sabda Rasulullah SAW.
لاَضَرَر وَلاَ ضِرَارَ
Artinya: “Tidak boleh membuat
kerusakan pada diri sendiri serta membuat kerusakan pada orang lain.” (HR. Ahamad
dan Ibnu Majah dari Ibnu Abbas).[9]
3.
Kaidah-kaidah Furu’
a.
Kaidah pertama
اَلضَّرُورَات تُبِيْعُ الْمَحْظُوْرَاتِ
Artinya: “Kemaḍaratan itu
membolehkan yang dilarang”
Dasar nash kaidah di atas adalah Firman Allah.
Artinya: “Padahal
sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya
atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya.”
Artinya: “Maka barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang
dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa
baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Tidak semua keterpaksaan itu membolehkan yang haram, namun keterpaksaan itu
dibatasi dengan keterpaksaan yang benar-benar tiada jalan lain kecuali hanya
melakukan itu, dalam kondisi ini maka semua yang haram dapat diperbolehkan
memakainya. Misalkan seorang di hutan tiada makanan sama sekali jika ia tidak
makan maka dapat mengancam dirinya atau ia bisa mati, namun yang ada di sana
hanya babi hutan maka babi hutan itu boleh dimakan sebatas keperluannya.[12]
Dikalangan ulama ushul, yang dimaksud dengan keadaan darurat yang
membolehkan seseorang melakaukan hal-hal yang dilarang adalah keadaan yang
memenuhi syarat sebagai berikut:
1)
Kondisi darurat itu mengancam jiwa dan anggota badan.
2)
Keadaan darurat hanya dilakukan sekedarnya dalam arti
tidak melampaui batas.
3)
Tidak ada jalan lain yang halal kecuali dengan
melakukan yang dilarang.
Dengan adanya dasar al-Qur’an tersebut, maka dalam keadaan terpaksa,
seseorang diperbolehkan melakukan suatu perbuatan yang dalam kebiasaannya
melakukannya, kemungkinan besar sekali menimbulkan kemuḍaratan pada
dirinya. Oleh sebab itu, maka kaidah fiqih tersebut merupakan pengecualian
syariah yang bersifat umum (General Law), artinya orang haram hukum
melakukan hal-hal yang telah diharamkan atau dilarang oleh agama.[13]
Contohnya: Diibaratkan disuatu
desa ada seorang ibu-ibu yang akan melahirkan namun, sudah dalam keadaan
kondisi yang sangat kritis sedangkan di desa tersebut tidak ada seorang bidan
dan hanya seorang dokter laki-laki. Maka hal seperti itu yang dibolehkan bagi
dokter laki-laki tersebut melihat kemaluan dari pada pasien tersebut.
b.
Kaidah kedua
مَا
اُبِحَ لِلضَّرُورَةِ يُقَدَّرُ بِقَدَرِهَا
Contoh kaidah di atas adalah: kebolehan memakan bangkai
bagi seseorang hanya sekedar dalam ukuran untuk mempertahankan hidup, tidak
boleh melebihi.
c.
Kaidah ketiga
الاضطرار لا يبطل حق
الغير
Misalnya seseorang dalam keadaan lapar, dan dia akan
mati jika ia tidak makan, dan jalan satu-satunya mendapat makanan adalah
mencuri, maka ia tidak boleh melakukannya, karena pengguguran terhadap
keterpaksaan ini mengganggu hak orang lain, maka jalan keluar orang tersebut
adalah boleh makan makanan yang haram seperti babi, bangkai dan sebagainya.
d.
Kaidah keempat
الضرار لايزال بالضرر
Dari kaidah ini dapat diambil sebuah contoh dua
orang yang terapung-apung di atas lautan akibat kapal yang ditumpanginya pecah.
Salah satu dari mereka mendapatkan sekeping papan untuk mengapung di atas air
sekedar bertahan sampai ada tim penolong datang. Tetapi juga kawannya ingin
sekali menyelamatkan jiwanya dari bahaya maut merebut papan tersebut dan karena
papan itu tidak dapat menampung dua orang ia harus mengorbankan kawannya yang
sudah berada di atas papan. Maka tindakan orang yang merebut karana darurat
terhadap sesuatu yang dianggap darurat pula oleh kawan yang direbutnya tidak
dibenarkan oleh syari’at.
Kaidah ini semakna dengan kaidah:
الْضَرَرُ لاَيُزَالُ بِمِثْلِهِ
Artinya: “Kemuḍaratan tidak boleh dihilangkan dengan
kemuḍaratan yang sebanding”.
Maksudnya adalah kemuḍaratan tidak boleh
dihilangkan dengan cara melakukan kemuḍaratan lain yang sebanding
keadaannya. Misalnya, seseorang debitor tidak mau membayar utangnya padahal
waktu pembayaran sudah habis. Maka dalam hal ini tidak boleh kreditor mencuri
barang debitor sebagai pelunasan terhadap hutangnya.
Contoh lain seorang dokter tidak boleh melakukan
donor darah dari satu orang ke orang lain jika hal itu menyebabkan si pendonor
menderita sakit lebih parah dari yang menerima donor.
Kebolehan berbuat atau meninggalkan sesuatu karena ḍarar
adalah untuk memenuhi penolakan terhadap bahaya, bukan selain ini. Dalam kaitan
ini Dr. Wahbah az-Zuhaili membagi kepentingan manusia akan sesuatu dengan lima
klasifikasi, yaitu:
1)
Ḍarar,
yaitu kepentingan manusia yang diperbolehkan menggunakan sesuatu yang dilarang,
karena kepentingan itu menempati puncak kepentingan manusia, bila tidak
dilaksanakan maka mendatangkan kerusakan. Kondisi semacam ini memperbolehkan
segala yang diharamkan atau dilarang, seperti memakai pakaian sutra bagi
laki-laki yang telanjang, dan sebagainya.
2)
Hajat, yaitu kepentingan manusia akan
sesuatu yang bila tidak dipenuhi mendatangkan kesulitan atau mendekati
kerusakan. Kondisi semacam ini tidak menghalalkan yang haram. Misalnya seorang
laki-laki yang tidak mampu berpuasa maka diperbolehkan berbuka dengan makanan
halal, bukan makanan haram.
3)
Manfaat, yaitu kepentingan manusia untuk
menciptakan kehidupan yang layak. Maka hukum diterapkan menurut apa adanya
karena sesungguhnya hukum itu mendatangkan manfaat. Misalnya makan makanan
pokok seperti beras, ikan, sayur-mayur, lauk-pauk, dan sebagainya.
4)
Zeinah,
yaitu kepentingan manusia yang terkait dengan nilai-nilai estetika.
5)
Fuḍul,
yaitu kepentingan manusia hanya sekedar utuk berlebih-lebihan, yang
memungkinkan mendatangkan kemaksiatan atau keharaman. Kondisi semacam ini
dikenakan hukum saddu adz dzariah, yakni menutup segala kemungkinan yang
mendatangkan mafsadah.[17]
e.
Kaidah kelima
ما
جاز لعذر بطل بزواله
Artinya: “Apa yang diizinkan karena adanya udzur,
maka keizinan itu hilang manakala udzurnya hilang.”[18]
Misalnya kebolehan tayammum bagi seseorang yang sakit,
maka ketika sudah sembuh kebolehan tayammum itu hilang atau tidak berlaku lagi.
f.
Kaidah keenam
الميسور لا يسقط بالمعسور
Kaidah tersebut menurut Ibnu Subki diambil dari
sabda Nabi Saw :
اذاامرتكم بامر فأتوا منه مااستطعتم
Artinya: “Apabila
aku perintahkan kalian dengan suatu perintah maka lakukanlah perintah itu
semampu kalian”.
Misalnya seorang yang buntung tangan atau kakinya
maka cara wudhunya cukup membasuh yang ada, jika tidak ada sama sekali maka
cukup membasuh anggota yang paling ujung sendiri.
g.
Kaidah ketujuh
در المفاسد اولى من جلب المصالح
فاذاتعارض مفسدة ومصلحة قدم دفع المفسدة غالبا
Artinya: “Menolak kerusakan lebih
diutamakan dari pada mendapatkan kemaslahatan, dan apabila berlawanan antara
mafsadah dan maslahah maka yang didahulukan adalah menolak mafsadahnya”.[20]
Kaidah tersebut diilhami oleh hadits Nabi Saw:
اذاامرتكم بامرفأ توا
مااستطعتم واذا نهيتكم عن شئ
فاجتنبوه
Artinya: “Apabila aku
telah memerinahkanmu dengan suatu perintah maka kerjakanlah perintah itu
semampumu, tetapi jika aku telah melarang padamu tentang sesuatu maka
jauhilah”. (HR.
Bukhari-Muslim dari Abu Hurairah).
Misalnya seseorang diprintahkan shalat dalam keadaan
berdiri, namun ia tidak mampu melaksanakannya, maka shalat itu dapat dikerjakan
dengan duduk atau berbaring. Menolak maḍarat didahulukan karena
kerusakan akan berakibat pada hilangnya manfaat. Misalnya minum khomr itu
disamping ada maḍaratnya merusak akal dan menghambur-hamburkan uang
sedang manfaatnya untuk menguatkan badan, walaupun demikian maka yang
dimenangkan adalah menolak kerusakannya.
h.
Kaidah kedelapan
إِذَاتعارَضَ
مَفْسَدَتاَنِ رُوْعِيَ أَعْظَمُهُمَاضَرَرًاباِرْتِكاَبِ أَخَفِّهماَ
Artinya: “Apabila dua mafsadah bertentangan, maka
perhatikan mana yang lebih besar madharatnya dengan memilih yang lebih ringan
madharatnya”.[21]
Misalnya diperbolehkan mengadakan pembedahan perut
wanita yang mati jika dimungkinkan bayi yang dikandungnya dapat diselamatkan.
Demikian juga boleh shalat dengan bugil jika tidak ada alat penutup sama
sekali.
Contoh lain seperti wajibnya si kaya untuk
menafkahkan sebagian hartanya kepada si fakir, sebab pada hakikatnya
kemadlaratan yang dijumpai oleh si kaya dengan menafkahkan sebagian hartanya,
lebih ringan dari pada si fakir yang tidak mempunyai sama sekali.
i.
Kaidah kesembilan
الحاجة العا مة اوالخاصة
تنزل منزلة الضرورة
Kaidah di atas menunjukkan bahwa keringanan itu
tidak hanya berlaku bagi kemaḍaratan, baik kebutuhan umum maupun khusus,
sehingga dapat dikatakan bahwa keringanan itu diperbolehkan karena kebutuhan
sebagaimana kebolehan keringanan atas kemaḍaratan, karena hajat itu
hampir sama kedudukannya dengan muḍarat.
Misalnya, pada dasarnya transaksi jual beli
diharuskan terpenuhi semua rukun dan syaratnya, namun untuk mempermudah
transaksi tersebut maka diperbolehkan akad salam (pesanan) walaupun pada
dasarnya hal itu tidak mengikuti hukum asal.
j.
Kaidah kesepuluh
Artinya: “Apabila saling bertentangan ketentuan hukum
yang mencegah dengan yang dikehendaki pelaksanaan sesuatu perbuatan, niscaya
didahulukan yang mencegahnya”.
Sebagai contoh dalam suatu sengketa yang terjadi
karena seorang menjual suatu benda yang disewakan tanpa seizing penyewa yang
oleh karenanya jual beli ini hanya berlaku pada pihak penjual dan pembeli saja,
tidak dapat berlaku pada pihak penyewa, artinya pembeli tidak boleh minta
begitu saja agar penyewa menyerahkan benda tersebut, sebelum habis masa
sewanya.
k.
Kaidah kesebelas
”Kemudlaratan
itu harus dihindarkan sedapat mungkin”.
Maksud dari kaidah ini ialah, kewajiban
menghindarkan terjadinya suatu kemadlaratan, atau dengan kata lain, kewajiban
melakukan usaha-usaha perventif agar jangan terjadi suatu kemadlaratan, dengan
segala daya upaya yang mungkin dapat diusahakan. Maksud yang demikian ini
sesuai dengan maksud dalil-dalil mashlahah mursalah, yang dikenal dikalangan
ulama ushul dan banyak digunakan fiqh Siyasah.
Dari kaidah ini dapat diambil contoh
tindakan-tindakan hukum diantaranya, yaitu tindakan Umar bin Khattab dengan
membakar warung arak, agar jangan sampai terjadi kemadlaratan-kemadlaratan yang
lebih besar.
Begitu juga dengan usaha Abu Bakar untuk mengadakan
penulisan al-Qur’an agar jangan samapai ada yang hilang atau terlupakan.
Demikian pula tidakan Usman bin Affan dalam usahanya mengumpulkan al-Qur’an
dalam Mushaf.
Dalam pelayaran dengan kapal laut, di mana kapal demikian
oleng dan besar kemungkinan akan tenggelam apabila semua barang yang ada di dalamnya
tidak dibuang ke laut. Dalam keadaan semacam itu diperbolehkan membuang barang
ke laut meskipun tidak seizin yang mempunyai demi kemaslahatan penumpang, yaitu
menolak bahaya yang mengancam keselamatan jiwa mereka.
l.
Kaidah keduabelas
يُحْتَمَلُ الضَّرَرُالخَاصِ لِأَجَلِ الضَّرَرِالْعاَمِ
Artinya: “Kemuḍaratan yang khusus boleh dilakukan
demi menolak kemuḍaratan
yang bersifat umum”.
Contohnya boleh melarang tindakan hukum seseorang yang membahayakan kepentingan
umum. Misalnya, menjual barang-barang debitor yang sudah ditahan demi
menyelamatkan para nasabah.
m.
Kaidah ketigabelas
الضَّرَرُلاَيَكُوْنُ قَدِيْمَاَ
Artinya: “Kemuḍaratan itu tidak dapat dibiarkan karena dianggap
telah lama terjadi”.
Maksudnya adalah kemuḍaratan itu harus dihilangkan dan tidak boleh dibiarkan
terus berlangsung dengan alasan kemuḍaratan tersebut telah ada sejak dahulu.
Contohnya boleh melarang dosen yang punya penyakit darah tinggi yang parah untuk
mengajar, larangan ini tidak bisa dibantah dengan alasan penyakitnya sudah
lama.
C.
Kesimpulan
Dari pembahasan
makalah ini, dapat diambil kesimpulan bahwa kaidah ini adalah kaidah yang membahas
tentang “kemuḍaratan harus dihilangkan”. Dimana maksud dari kaidah
tersebut adalah, dalam keadaan yang bisa berakibat fatal, maka seseorang
tersebut bisa mengatasinya dengan cara melanggar hukum, namun hanya dalam
batasan-batasan tertentu.
DAFTAR
PUSTAKA
Alim, Nur. Ad-Dhararu
Yuzalu, http://noeraliem.blogspot.com/2010/10/ad-dhararu-yuzalu-kemuḍaratan-itu.html.
As-Suyuthi.
1403 H. Al-Asybah wa al-Nazair. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah.
Az-Zuhaili,
Wahbah. 1982. Fiqh al-Islamiy wa Adillatuh. Beirut, Lebanon: Dar
al-Fikr.
Djuzuli. 2007. Kaidah-Kaidah Fikih, Jakarta: Kencana.
Hakim, Abdul
Hamid. 1956.
As-Sullam, juz II. Jakarta:
Maktabah as-Sa’diyah Putra.
Kurdi, Muliadi, 2011. Ushul Fiqh Sebuah Pengenalan Awal, cet.1,
Banda Aceh: Lembaga Kajian Agama dan Sosial (LKAS).
Nashr Farid Muhammad Washil, dkk. 2009. Qawa’id Fiqhiyyah. Jakarta: Amzah.
Pondok Pasantren Islam Nirul Iman, Ḍarurat dalam
Perspektif Islam, http://ppnuruliman.com/artikel/fikih/228-dhorurat-dalam-perspektif-islam.html.
Usman, Muchlis. 2002. Kaidah-Kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyyah. Jakarta:
PT. RajaGrafindo Persada.
Zein, Muhammad
Mas’ud. Sitematika Teori Hukum Islam (Qawa’id-Fiqhiyyah)
[1] Muliadi
Kurdi, Ushul Fiqh Sebuah Pengenalan Awal, cet.1, (Lembaga Kajian Agama
dan Sosial (LKAS), Banda Aceh: 2011), hal. 4.
[2] Nashr Farid
Muhammad Washil, Qawa’id Fiqhiyyah, hlm. 17.
[3]Pondok
Pasantren Islam Nirul Iman, Dhorurat dalam Perspektif Islam, http://ppnuruliman.com/artikel/fikih/228-dhorurat-dalam-perspektif-islam.html.
[4] Nur Alim, Ad-Dhararu
Yuzalu, http://noeraliem.blogspot.com/2010/10/ad-dhararu-yuzalu-kemudharatan-itu.html.
[8] Q.S. at-Thalaq
(65): 6.
[9] Muchlis
Usman, Kaidah-Kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyyah, (Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 2002), hal.132.
[12] Nur Alim, Ad-Dhararu Yuzalu, http://noeraliem.blogspot.com/2010/10/ad-dhararu-yuzalu-kemudharatan-itu.html, 26/10/2011, 10.05 Wib.
[13] Muhammad Mas’ud Zein, Sitematika
Teori Hukum Islam (Qawa’id-Fiqhiyyah), hal. 65.
[14]
As-Suyuthi, al-Asybah wa al-Nazair, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah,
1403 H.), hal. 60.
[15] Wahbah
az-Zuhaili, Fiqh al-Islamiy wa Adillatuh, (Beirut, Lebanon: Dar al-Fikr,
1982), hal. 259.
[17] Wahbah
az-Zuhaili, Fiqh al-Islamiy wa Adillatuh........., hal. 246-247.
[18] Ibid,
hal. 245.
[22] Wahbah
az-Zuhaili, Fiqh al-Islamiy wa Adillatuh........., hal. 261.